Seks, seksualitas dan relasi seksual adalah topik-topik yang diperdebatkan secara hangat di Indonesia, sehingga memicu respons-respons yang kompleks dan seringkali emosional.  Buku ini mengeksplorasi topik-topik ini dalam beragam cara. Pertama, menyoroti sejarah dan bentuk-bentuk baru dari keragaman seksual, termasuk respons-respons yang muncul. Kedua, mengkritisi representasi seksualitas yang berbeda dengan menunjukkan keragaman wacana tentang bagaimana seksualitas dan ‘the sexual’ dipahami dalam konteks Indonesia moderen.

Dengan menempatkan seksualitas sebagai pusat dan meletakkannya dalam konteks sejarah era Reformasi, volume ini menelisik makna-makna dan praktik-praktik lintas lokasi, dengan memfokuskan pada beragam kelompok dan makna-makna seksualitas yang contested. Diawali dengan sebuah pengantar yang substantif dan disimpulkan dengan refleksi kritis atas isu-isu utama, kerangka buku ini melingkupi empat tema utama: politik seksual, kesehatan, keragaman dan representasi. Buku ini menyajikan temuan empiris baru dan sekaligus berkontribusi pada analisis teoritik.

Buku ini mengisi rumpang (gap) dalam pemahaman kita tentang evolusi dan dinamika kontemporer dari seksualitas di Indonesia. Ilmuwan dan akademisi dari disiplin kajian gender dan seksualitas, kesehatan global, kesehatan seksual dan reproduksi, antropologi, sosiologi dan kajian Asia perlu membaca buku yang penting dan menarik ini.

Seks, seksualitas dan relasi seksual adalah topik-topik yang diperdebatkan secara hangat di Indonesia, sehingga memicu respons-respons yang kompleks dan seringkali emosional. Buku Seksualitas Di Indonesia yang terbit pada 26 Maret 2018 ini mengeksplorasi topik-topik seks, seksualitas dan relasi seksual dalam berbagai cara. Pertama-tama, buku ini menyoroti sejarah dan bentuk-bentuk baru dari keragaman seksual, termasuk respons-respons yang muncul. Kedua, buku ini juga mengkritisi representasi seksualitas yang berbeda dengan menunjukkan keragaman wacana tentang bagaimana seksualitas dan ‘the sexual’ dipahami dalam konteks Indonesia modern. Dengan menempatkan seksualitas sebagai pusat dan meletakkannya dalam konteks sejarah era Reformasi, buku ini berusaha menelisik makna-makna dan praktik-praktik lintas lokasi, dengan memfokuskan pada beragam kelompok dan makna-makna seksualitas yang contested. Diawali dengan sebuah pengantar yang substantif dan disimpulkan dengan sebuah refleksi kritis atas isu-isu utama, kerangka buku ini melingkupi empat tema utama: politik seksual, kesehatan, keragaman dan representasi. Buku ini menyajikan temuan empiris baru dan sekaligus berkontribusi pada analisis teoritik. Buku ini diharapkan mampu mengisi rumpang (gap) dalam pemahaman kita tentang evolusi dan dinamika kontemporer dari seks dan seksualitas di Indonesia. Ilmuwan dan akademisi dari disiplin kajian gender dan seksualitas, kesehatan global, kesehatan seksual dan reproduksi, antropologi, sosiologi dan kajian Asia perlu membaca buku terbitan Obor Yayasan Indonesia yang penting dan menarik ini.

Seks, seksualitas dan relasi seksual adalah topik-topik yang diperdebatkan secara hangat di Indonesia, sehingga memicu respons-respons yang kompleks dan seringkali emosional. Buku Seksualitas Di Indonesia yang terbit pada 26 Maret 2018 ini mengeksplorasi topik-topik seks, seksualitas dan relasi seksual dalam berbagai cara. Pertama-tama, buku ini menyoroti sejarah dan bentuk-bentuk baru dari keragaman seksual, termasuk respons-respons yang muncul. Kedua, buku ini juga mengkritisi representasi seksualitas yang berbeda dengan menunjukkan keragaman wacana tentang bagaimana seksualitas dan ‘the sexual’ dipahami dalam konteks Indonesia modern. Dengan menempatkan seksualitas sebagai pusat dan meletakkannya dalam konteks sejarah era Reformasi, buku ini berusaha menelisik makna-makna dan praktik-praktik lintas lokasi, dengan memfokuskan pada beragam kelompok dan makna-makna seksualitas yang contested. Diawali dengan sebuah pengantar yang substantif dan disimpulkan dengan sebuah refleksi kritis atas isu-isu utama, kerangka buku ini melingkupi empat tema utama: politik seksual, kesehatan, keragaman dan representasi. Buku ini menyajikan temuan empiris baru dan sekaligus berkontribusi pada analisis teoritik. Buku ini diharapkan mampu mengisi rumpang (gap) dalam pemahaman kita tentang evolusi dan dinamika kontemporer dari seks dan seksualitas di Indonesia. Ilmuwan dan akademisi dari disiplin kajian gender dan seksualitas, kesehatan global, kesehatan seksual dan reproduksi, antropologi, sosiologi dan kajian Asia perlu membaca buku terbitan Obor Yayasan Indonesia yang penting dan menarik ini.

Linda Rae Bennett adalah peneliti senior di Nossal Institute for Global Health, Universitas Melbourne. Ia adalah ahli antropologi medis dengan spesialisasi pada hak dan kesehatan seksual dan reproduksi di kalangan kaum muda dan perempuan di Indonesia. Publikasinya yang penting Women, Islam and Modernity: Single Women, Sexuality and Reproductive Health in Contemporary Indonesia (2005), “Sexuality and Gender among Contemporary Indonesian Youth” (bersama Lyn Parker 2008), dan “Women and Gender Politics in Asia and the Pacific” (bersama Petra Mahy 2012).

Sharyn Graham Davies adalah associate professor di School of Social Sciences and Public Policy at AUT University, Selandia Baru. Ia adalah ahli antropologi yang memfokuskan pada gender dan seksualitas di Indonesia. Akhir-akhir ini penelitiannya mengkaji tentang dampak pengaturan dan pengawasan atas persoalan gender dan seksualitas. Publikasi pentingnya adalah Gender Diversity in Indonesia (2011) dan Challenging Gender Norms (2007).

Irwan Martua Hidayana adalah staf pengajar di Departemen Antropologi dan peneliti di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI. Ia adalah ahli antropologi medis dan minat penelitian pada isu-isu seksualitas, kesehatan reproduksi dan seksual, dan medisin. Publikasinya a.l.: Seksualitas Remaja (bersama Achmad F. Saifuddin, 1998), ”Preventing mother-to-child transmission of HIV in Vietnam and Indonesia: Diverging care dynamics”, dalam Social Science and Medicine (bersama A. Hardon dkk., 2009), “Dominasi Laki-laki dalam perikehidupan seksual perempuan, Jurnal Perempuan (2013).

Problematika gender dan seksualitas yang ada di Indonesia semakin hari kian kompleks. Di satu sisi seksualitas masih sering dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Di sisi lain, sejumlah peristiwa ketimpangan, kekerasan hingga pelecehan seksual semakin terlihat dan menjadi perdebatan banyak kalangan.

Perdebatan sengit kerap kali terjadi apabila wacana yang dibahas menyinggung persoalan kekerasan seksual. Adanya perdebatan tersebut lantaran terjadi polarisasi antar golongan dalam memaknai isu kekerasan seksual. Golongan pertama adalah mereka yang melihat kekerasan seksual dari sudut pandang moralitas dan agama, golongan berikutnya melihat dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan terhadap korban.

Kekerasan seksual yang terjadi hari ini menjadi representasi dari sistem tata nilai di masyarakat. Beberapa orang masih sering menempatkan salah satu jenis gender sebagai kaum yang marginal. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman baru bagi masyarakat seputar gender, seks, dan seksualitas.

Pengarusutamaan Gender Dalam Berbagai Aspek

Diskriminasi gender hingga hari ini masih sering terjadi di setiap aspek kehidupan. Hal tersebut disebabkan masih banyaknya anggapan terhadap perempuan sebagai golongan yang rendah. Perempuan dianggap tidak mandiri, emosional, tidak perlu berkarir dan cukup fokus dengan pekerjaan domestik saja. Anggapan semacam itu kemudian terbentuk menjadi sebuah konstruksi sosial dan dipercaya secara turun temurun.

Meskipun beberapa upaya untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan gender telah dilakukan, kenyataannya ketimpangan gender masih tetap eksis di masyarakat. Alasan kuat yang mendasari hal tersebut ialah masih dielu-elukannya laki-laki sebagai pihak dominan dibanding perempuan dalam praktik tatanan sosial. Budaya patriarki yang tumbuh di masyarakat masih mengidentikkan sektor publik bagi kalangan laki-laki, sedangkan perempuan berada di sektor domestik.

Pengarusutamaan gender memiliki makna perbaikan kualitas hidup yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Kualitas hidup yang meningkat seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi akan mendorong ke arah pemberdayaan. Pemberdayaan tidak hanya diharapkan dari laki-laki saja, tetapi juga perempuan. Budaya yang selama ini berkembang seakan menghambat pemberdayaan perempuan, seperti dalam pengambilan keputusan hingga penciptaan pendapatan dalam pasar tenaga kerja. Idealnya, peningkatan pembangunan gender akan menciptakan keseimbangan pemberdayaan antara laki-laki dan perempuan.[riza]

Afni, Nur, Mohammad Rezal, and Labandingi Latoki. “KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT.” Musawa: Journal for Gender Studies 14, no. 1 (2022): 19-48.

Muhammad, Azriel. “Konsep Hermeneutika Amina Wadud Tentang Kesetaraan Gender.” PhD diss., UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2023.

%PDF-1.4 %âãÏÓ 1379 0 obj <> endobj xref 1379 44 0000000016 00000 n 0000003252 00000 n 0000003434 00000 n 0000004031 00000 n 0000004782 00000 n 0000005439 00000 n 0000005491 00000 n 0000005606 00000 n 0000005865 00000 n 0000007656 00000 n 0000009405 00000 n 0000011122 00000 n 0000012662 00000 n 0000014406 00000 n 0000015006 00000 n 0000015562 00000 n 0000015819 00000 n 0000017585 00000 n 0000019289 00000 n 0000019966 00000 n 0000021223 00000 n 0000032248 00000 n 0000032650 00000 n 0000033063 00000 n 0000046024 00000 n 0000046490 00000 n 0000054249 00000 n 0001211367 00000 n 0001219303 00000 n 0001220928 00000 n 0001222553 00000 n 0001224109 00000 n 0001231627 00000 n 0001253398 00000 n 0001258260 00000 n 0001262766 00000 n 0001278047 00000 n 0001299362 00000 n 0001301016 00000 n 0001302670 00000 n 0001329803 00000 n 0001369132 00000 n 0000003045 00000 n 0000001199 00000 n trailer <]/Prev 8275604/XRefStm 3045>> startxref 0 %%EOF 1422 0 obj <>stream hÞÔV‹SSWÿîÍMr (I ‘²¯0¼l„Hé¾L(AˆÎ6bnHh^j-»Ó.™–ê57#º Å™F«T#‚ì4-hˆ§,Ø)`-º¢µ:c×*»mgu§íì¹÷„þ{&÷|�ó=~çûν9 €ˆ´ [AO†éÄ@ Ù $’ ãfôà žÄW2¼=Ð hÚßÉ‘ºì¾ p .35—!ƒz:/ô·éX¼óBl÷àVæ5�à´MáÝüâi±™_ÃÆ'›Ž³�9 zÙGÕlžðcGá¹óPlS¼ßK^›ýÂlh’g™˜Qøfî^¥Š{¹qmØ4ƒÍBB&Å=ô#\§;Ù‡½»nÃWÌêGX$ýÙî \Ò»ðö

© 2024 — Senayan Developer Community

Unit Kajian Gender dan Seksualitas Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LPPSP FISIP UI) mengadakan acara peluncuran buku yang berjudul “Dinamika Gender dan Seksualitas Kontemporer: Sebuah Antologi” pada Kamis (31/03). Buku yang berisikan hasil penelitian dengan tema gender dan seksualitas khususnya yang menangkap keragaman identitas dan ekspresi gender, relasi kuasa antara teknologi informasi dengan praktik-praktik seksualitas di Indonesia belum banyak dipublikasikan secara luas.

“Buku ini berangkat dari isu gender dan seksualitas di Indonesia. Problematika gender dan seksualitas yang terjadi di Indonesia semakin kompleks dan menantang. Di satu sisi seksualitas masih dipandang tabu untuk dibicarakan secara terbuka, di sisi lain sejumlah isu seksualitas hangat diperdebatkan di ranah public,” ujar Irwan

Lebih lanjut ketua Departemen Antropologi FISIP UI menjelaskan, dinamika gender dan seksualitas yang sedang hangat dan menjadi pertarungan wacana adalah isu kekerasan seksual. Sejak beberapa tahun terakhir, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diajukan oleh pemerintah ke DPR pada tahun 2016 mengalami pasang surut dalam proses pembahasannya. “Lagi-lagi, perdebatan atas substansi RUU ini menunjukkan polarisasi antara kelompok yang mengusung moralitas dan agama dengan kelompok yang berperspektif HAM dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Urgensi dari penghapusan kekerasan seksual juga dirasakan dunia pendidikan karena maraknya kasus-kasus yang diangkat oleh media sosial.”

Buku ini merupakan publikasi yang berupaya merangkum tulisan-tulisan para peneliti di bidang gender dan seksualitas di Indonesia, yaitu Irwan Martua Hidayana, Gabriella Devi Benedicta, Diana Teresa Pakasi, Restasya Bonita, Supozwa Begawan Asmara Lanank, Putri Rahmadhani, Reni Kartikawati, Sabina Puspita dan Ni Nyoman Sri Natih Sudhiastiningsih. Perubahan nilai, pemaknaan dan praktik seksualitas yang sangat cepat terjadi di Indonesia membutuhkan pembaruan teoretisasi dan konseptualisasi serta metodologi penelitian gender dan seksualitas di Indonesia.

Bagian pertama pada buku ini mengenai Seksualitas dan Media Digital, tulisan pertama oleh Retasya Bonita mengungkapkan bahwa konsumsi pornografi di internet pada dasarnya merupakan arena dominasi seksual laki-laki dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Selanjutanya pada bagian pertama, Supozwa Begawan Asmara Lanank mengeksplorasi platform digital yang khusus untuk komunitas homoseksual yaitu Grindr. Aplikasi Grindr memberikan kemudahan bagi laki-laki gay untuk mencari pasangan seksual sesuai dengan keinginan dan hasratnya. Penulis memfokuskan pada pemaknaan posisi seks top, vers, dan bot dan bagaimana pemaknaan tersebut membentuk relasi di antara laki-laki homoseksual.

Bagian kedua buku ini adalah Hasrat dan Kenikmatan Seksual yang masih sedikit dibahas dalam kajian seksualitas di Indonesia. Tulisan Gabriella Devi Benedicta memfokuskan pada bagaimana hasrat dan keintiman seksual terbentuk pada kehidupan biarawati yang selibat. Selanjutnya dari Irwan Martua Hidayana membahas tentang makna seksual dan kenikmatan seksual pada pasangan heteroseksual di Jepara, Jawa Tengah. Terdapat perbedaan dalam pengalaman kenikmatan seksual antara laki-laki dan perempuan. Kenikmatan dan kepuasan seksual lebih sering dialami oleh laki-laki dibandingkan dengan pasangan perempuannya. Konstruksi budaya Jawa sering membuat perempuan sulit mengekspresikan keinginan mereka secara seksual. Sementara, laki-laki memaknai seks sebagai kebutuhan biologis dan kenikmatan yang dicapai melalui orgasme. Kemudian tulisan Diana Teresa Pakasi mengulas konstruksi maskulinitas melalui praktik pembesaran penis pada kelompok pemuda di Jayapura, Papua.

Sub tema pada bagian ketiga adalah Marjinalisasi Perempuan yang dibahas dalam dua tulisan. Tulisan Putri Rahmadhani memperlihatkan tentang pesepak bola putri yang berjuang untuk diakui keberadaannya dalam organisasi sepak bola yang dominan maskulin dan hierarkis. Kemudian tulisan Reni Kartikawati menyoroti isu global perkawinan anak dengan kasus adat merariq di Lombok, Nusa Tenggara Barat dari perspektif kriminologi. Merariq merupakan tradisi perkawinan usia anak, khususnya anak perempuan, yang sedang mengalami perubahan makna dan praktik karena terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat Sasak dalam beberapa dasawarsa terakhir.

Berikutnya, bagian keempat dari buku ini adalah Negara dan Seksualitas bagian ini menyajikan sebuah tulisan dari Sabina Puspita yang mendiskusikan tentang politik pengaturan seksualitas di Indonesia, bagaimana negara melalui kebijakan-kebijakannya mengatur seksualitas perempuan dan menunjukkan ideologi gendernya. Tulisan ini mengungkapkan bahwa orientasi negara terhadap seksualitas yang prokreasi-sentris menunjukkan keajegan dari rezim ke rezim dan dilegalisasi pada masa peralihan dari rezim otoriter ke rezim demokratis pada tahun 2000.

Bagian kelima yaitu Refleksi Praktik Penelitian, Bagian terakhir buku ini mengangkat refleksi dari pengalaman beberapa penelitian mengenai isu gender dan seksualitas. Dengan menganalisis dan menginterogasi pengalaman penelitian akan membantu memahami tentang metodologi yang digunakan. Riset kualitatif sering kali membuat peneliti berhadapan dengan kompleksitas realitas sosial dan proses penelitian itu sendiri. Persoalan membangun relasi dengan partisipan penelitian, positionality, kekawatiran, dan keraguan diri adalah beberapa hal yang muncul dalam penelitian.

Tulisan terakhir dari Ni Nyoman Sri Natih Sudhiastiningsih membahas tentang salah satu teknik dalam pendekatan etnografi dengan visual photovoice sebagai elemen penting dalam menganalisis, memahami dan mengkritisi makna dari sebuah fenomena yang terjadi. Photovoice sering digunakan dalam penelitian partisipatif, khususnya berbasis komunitas. Teknik photovoice membantu analisis kebutuhan komunitas atau kelompok masyarakat dalam perancangan program pemberdayaan secara lebih kontekstual.

“Melalui bab-bab dalam buku ini, tampak nyata keragaman dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pemaknaan dan praktik seksualitas di Indonesia. Realitas ragam nilai dan praktik seksualitas tidaklah setara dalam masyarakat kita. Seksualitas senantiasa menjadi arena pertarungan identitas dan moralitas bangsa, masyarakat memberikan label terhadap praktik dan identitas seksual yang baik, sehat, bermoral dan sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa dengan seksualitas yang dianggap menyimpang, amoral dan membahayakan budaya dan generasi penerus bangsa,” ujar Diana Pakasi.

Menurut Diana, “Hal lain yang menjadi refleksi dari buku ini adalah realitas bahwa seksualitas meskipun sangat kontekstual, namun sangat terhubung, terutama dengan kemajuan teknologi informasi. Kekuatan sosial yang bekerja, yang mengontrol tetapi juga memampukan individu, tidak hanya proses modernisasi di tingkat lokal, tetapi juga globalisasi yang dibawa terutama oleh internet. Keterhubungan ini misalnya termanifestasi melalui beragam platform media sosial, aplikasi untuk kencan, forum di internet yang membentuk sosialitas (sociality) di mana seksualitas secara spesifik diekspresikan dan dipraktikkan.”

Penelitian mengenai gender dan seksualitas dalam buku ini diharapkan membuka mata mengenai keragaman gender dan seksualitas serta kerentanan, marginalisasi dan eksklusi yang khususnya dihadapi oleh minoritas gender dan seksual di Indonesia. Buku ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya transformasi masyarakat kita yang lebih setara dan adil gender.

Isu kesehatan dan seksualitas anak muda, khususnya di negara berkembang, kerap menjadi sorotan dalam beberapa studi. Studi di India tahun 2022, misalnya, menunjukkan bahwa anak muda (remaja) dihadapkan dengan berbagai tantangan terkait isu seksualitas, seperti perilaku seksual berisiko, penyakit menular seksual, dan perilaku seksual non-konsensual.

Bagaimana dengan Indonesia?

Mengapa pendidikan seksual penting?

Isu-isu anak muda perlu mendapatkan perhatian khusus karena sumber daya manusia (SDM) yang unggul menjadi kunci keberhasilan bangsa Indonesia di masa depan, terutama dalam kaitannya dengan sasaran visi Indonesia Emas 2045. Manusia unggul adalah manusia yang sehat, cerdas, produktif, berdaya saing, berakhlak mulia, dan berkomitmen kebangsaan.

Demi mencapai visi tersebut, pemberian informasi seputar kesehatan seksual dan reproduksi menjadi krusial, mengingat hal ini adalah salah satu hak dasar manusia. Selain itu, pendidikan seksual yang komprehensif juga dapat menjadi bekal bagi anak muda untuk meminimalisir risiko penyakit menular seksual, kekerasan seksual, dan kehamilan yang tidak diinginkan, agar mereka memiliki masa depan yang sehat, aman, terencana, dan berkualitas.

Mengenal Perbedaan Gender, Seks dan Seksualitas

Gender berasal dari bahasa latin “Genus” yang berarti jenis atau tipe. Dalam ilmu sosiologi dan antropologi, gender dimaknai sebagai sikap atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk masyarakat pada waktu tertentu. Beberapa identitas gender yang umum adalah laki-laki dan perempuan, identitas tersebut kemudian mendapatkan label sosial seperti maskulinitas dan feminitas. Sehingga bisa disimpulkan, gender merupakan suatu kontruksi sosial atas seks yang kemudian menjadi peran dan perilaku sosial.

Seks sendiri diartikan sebagai jenis kelamin yang bersifat biologis yaitu laki-laki dan perempuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata seks memiliki tiga arti yaitu jenis kelamin, hal yang berhubungan dengan alat kelamin, dan birahi seperti senggama. Secara kodrat, Tuhan telah membedakan alat reproduksi bagi laki-laki dan perempuan. Tuhan memberikan alat reproduksi berupa sperma dan penis kepada kaum laki-laki, sedangkan kepada perempuan diberikan sel telur dan vagina.

Seksualitas merupakan aspek-aspek terhadap kehidupan manusia yang mencakup aspek biologis, psikologis, sosial-budaya. Dalam aspek biologis, seksualitas dipandang sebagai anatomi dan fisiologi dari sistem reproduksi, organ seks, adanya hormonal, serta sistem saraf yang berhubungan dengan kebutuhan seksual. Dalam aspek psikologis, seksualitas dipandang sebagai sebuah perasaan dari diri sendiri terhadap kesadaran identitas. Sedangkan dalam aspek sosial budaya, seksualitas dipandang sebagai keyakinan yang berlaku di masyarakat berdasarkan kebutuhan seksual serta perilaku masyarakat pada umumnya.

Aspek budaya pendidikan seksualitas

Sejauh ini, masih belum ada pendidikan seksualitas yang kompeherensif di Indonesia. Namun, bukan berarti usaha-usaha ke arah sana tidak pernah dilakukan. Pada tahun 2015 misalnya, terdapat upaya untuk memasukkan materi kesehatan reproduksi dalam kurikulum nasional. Sayangnya, Mahkamah Konstitusi menolak usulan ini karena para pemohon dianggap tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum.

Memang, terdapat beberapa hal yang menghambat tumbuhnya pendidikan seksualitas kompeherensif di Indonesia. Sebagai negara yang kuat dengan nuansa Islam, pandangan bahwa seksualitas adalah hal yang tabu dan berseberangan dengan nilai-nilai Islam masih kerap muncul. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk melihat kesesuaian kondisi sosial dan kultural dalam memberikan pendidikan seksualitas yang kompeherensif. Seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh pemerintah Malaysia.

Pada tahun 2020, pemerintah Malaysia menunujukkan komitmen dengan meratifikasi kebijakan yang bersifat nasional untuk menyelenggarakan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah. Dalam prosesnya, pemerintah Malaysia menggunakan istilah “Pendidikan Kesihatan Reproduktif dan Sosial Kebangsaan” atau pendidikan kesehatan reproduksi dan sosial. Bila diperhatikan secara seksama, tidak ada kata “seksualitas” dalam konsep yang ditawarkan. Hal ini sengaja dilakukan oleh pemerintah Malaysia sebagai bentuk penyesuaian dengan nilai-nilai Islam yang dominan di negaranya.

Dalam konteks Indonesia yang kental dengan nilai-nilai Islam, pendekatan perlu dilakukan dengan para tokoh agama untuk menyepakati aspek-aspek apa saja yang dianggap cocok bagi murid-murid di sekolah. Dari beberapa “tempat” yang dianggap cocok untuk memberikan pendidikan seksualitas, sekolah dianggap sebagai tempat yang paling cocok. Sebuah studi di Mesir tahun 2012 menunjukkan bahwa sekolah dapat menjadi tempat yang cocok untuk memulai transfer pengetahuan terkait isu seksualitas kepada para siswa sebelum siswa aktif secara seksual.

Selain itu, studi yang sama menunjukkan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa sekolah dianggap cocok untuk memberikan pendidikan seksualitas; 1) Anak yang bersekolah lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah, 2) Di sekolah, informasi terkait isu seksualitas dapat diberikan sesuai kebutuhan berdasarkan kelompok usia, dan 3) Sekolah merupakan institusi yang dipercaya oleh masyarakat untuk memberikan transfer ilmu pengetahuan.

Potret Ketimpangan Gender di Masyarakat

Berbicara tentang ketimpangan gender, maka tidak bisa terlepas dari label masyarakat seperti maskulinitas dan feminitas. Karena asumsi masyarakat dalam memaknai gender bukan sebatas perbedaan fisiologis antara laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga menyangkut peran keduanya dalam tatanan kehidupan sosial. Hingga pada akhirnya, perbedaan jenis kelamin akan melahirkan perbedaan gender dan perbedaan gender akan menimbulkan berbagai ketidakadilan. Ketimpangan gender yang kerap kali terjadi di masyarakat antara lain marginalisasi perempuan, penempatan perempuan pada subordinat, streotype perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan beban kerja tidak proposional.

Persoalan ketimpangan gender harus diatasi dengan berbagai upaya untuk memberikan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Melalui pendekatan kesetaraan gender, dirasa sangat komprehensif untuk menganalisis dan merencanakan intervensi pembangunan. Karena mempertimbangkan situasi serta kebutuhan antara laki-laki dan perempuan. Hingga pada akhirnya, diharapkan mampu menguatkan kesetaraan partisipasi. Strategi itu disebut dengan Pengarusutamaan Gender (PUG).

Sarat terpaan tapi minim informasi

Saat ini, akses remaja terhadap informasi sangat mudah, termasuk pencarian pengetahuan mengenai seksualitas. Hal ini bisa menjadi pisau bermata dua jika tidak dibarengi dengan penyediaan informasi yang benar dan tepat. Sejumlah studi menunjukkan adanya hubungan antara perilaku seksual dengan pengetahuan remaja mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Survei yang dilakukan pada remaja oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2019 menunjukkan masih banyak remaja Indonesia yang belum memahami kesehatan reproduksi. Informasi mengenai masa subur perempuan, misalnya, hanya sepertiga dari total remaja usia 10-24 tahun yang pernah mendengarnya, dan hanya 13% di antaranya yang mengetahui secara tepat kapan masa subur terjadi.

Survei yang sama juga menginformasikan, hanya 4 dari 10 remaja yang mengetahui bahwa seorang perempuan bisa hamil meskipun hanya sekali berhubungan seksual. Terkait infeksi menular seksual, hanya 61% remaja pernah mendengar mengenai HIV dan AIDS dan 34% pernah mendengar tentang penyakit seksual lainnya.

Permasalahan terkait isu seksualitas pada anak muda juga dipengaruhi oleh kondisi psikologis generasi muda yang impulsif. Ciri psikologis ini merupakan ciri umum yang muncul pada fase remaja. Sebuah penelitian di India tahun 2023 menunjukkan bahwa impulsivitas remaja memiliki korelasi yang cukup erat dengan risk taking behavior atau perilaku mengambil risiko. Hal ini menyebabkan mereka rentan mengalami cidera, perilaku seksual yang berisiko, dan perilaku lain yang berkaitan dengan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023, sekitar 19% laki-laki menikah di usia 16-18 tahun, bahkan 2% menikah di bawah usia 16 tahun.

Data yang sama juga menunjukkan 44% perempuan melahirkan pada usia kurang dari 21 tahun.

Ada berbagai alasan mengapa laki-laki menikah di usia muda. Salah satunya karena kehamilan yang tidak diinginkan.

Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2017 menemukan 8% remaja pria dan 2% remaja wanita telah melakukan hubungan seksual. Alasan terbanyak yang disebutkan remaja untuk melakukan hubungan seksual pertama kali adalah karena “saling mencintai”, dan alasan terbanyak kedua khusus remaja pria menyebutkan “penasaran/ingin tahu.”

Data SKRRI juga menemukan sekitar 12% remaja perempuan pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan 7% remaja laki-laki menyampaikan pasangannya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.

Pendidikan seksualitas yang komprehensif

Pendidikan seksualitas yang kompeherensif dapat menjadi solusi dalam mengatasi isu-isu kesehatan dan seksualitas anak muda yang disebut di atas.

Badan Kesehatan Dunia WHO mendefinisikan pendidikan seksualitas yang kompeherensif sebagai pemberian informasi yang akurat terkait isu seksualitas dan kesehatan reproduksi dengan melihat kesesuaian materi dengan usia (age appropriate).

Studi tahun 2019 di Jakarta menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas di Indonesia diberikan oleh sekolah melalui guru dan disisipkan dalam mata pelajaran yang dianggap memiliki keterkaitan dengan isu seksualitas.

Meski demikian, studi yang sama juga menunjukkan bahwa pendekatan yang dipakai dalam proses pendidikan seksualitas lebih condong pada pendekatan yang abstinence yaitu menahan dorongan seksual dan cenderung menihilkan diskusi terkait isu seksualitas, kontrasepsi, dan topik lain yang berkaitan dengan gender.